Khidir dan Musa

Pernah membaca cerita Nabi Musa a.s yang berdialog dengan Nabi Khidir a.s? Menurut saya, ini cerita yang sangat dahsyat. Saya sangat kagum dengan cerita ini. Ceritanya singkat tapi tidak membosankan. Saya ingin berbagi pengalaman dengan para pembaca soal akal saya yang mencoba menangkap makna dibalik dialog singkat ini. Sebagian lagi adalah beberapa pengetahuan yang berasal dari para sahabat yang tidak bisa saya sebutkan namanya. Catat dulu baik-baik: saya bukan ulama, saya hanya hamba Allah SWT.

SATU. menurut saya, Nabi Musa a.s adalah simbol akal. Sebaliknya, Nabi Khidir a.s adalah simbol qolbu atau hati nurani. Akal merepresentasikan pemikiran. Qolbu merepresentasikan perasaan. Dua hal ini yang membedakan manusia dari makhluk ciptaan Allah SWT. Nabi Khidir a.s bertempat tinggal di wilayah pertemuan dua laut. Saya menduga, pertemuan dua laut ini juga i’tibar yang melambangkan pertemuan akal (fikir) dan qolbu (zikir). Laut digunakan sebagai simbol akal dan qolbu karena sifatnya yang luas, dalam, dan dinamis. Lokasi Nabi Khidir a.s yang berada di pertemuan dua laut merepresentasikan keunggulan Nabi Khidir a.s yang sudah memadukan akal & qolbu secara sempurna. Bukan seperti Nabi Musa a.s yang hanya mengedepankan akal dan mengabaikan qolbu. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui.

DUA. Nabi Musa a.s adalah penganut empirisme dan positivisme sejati. Logika berpikirnya mirip dengan sosok Nabi Ibrahim a.s di waktu muda yang menggunakan pendekatan empiris dan positivis ketika mencari Tuhan (QS. Al-‘An`am [6] : 75-78) dan menghancurkan patung berhala (QS. Al-‘Anbya’ [21] : 58-68). Keduanya juga sama-sama berpikir kritis yang diwujudkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban.

Tiga tindakan Nabi Khidir a.s, melobangi perahu, membunuh seorang anak, dan merenovasi rumah, adalah peristiwa empiris yang bisa di lihat panca indra manusia. Melobangi, membunuh, dan merenovasi adalah konsep-konsep yang ada tolak ukur, indikator, atau parameter-nya. Ketiga istilah ini bukan konsep yang abstrak yang tidak sulit dipahami akal Nabi Musa a.s. Di akal pikirannya, Nabi Musa a.s sudah memiliki defenisi operasional terhadap ketiga istilah ini. Karenanya, Nabi Musa a.s saya katakan menggunakan pendekatan positivisme.

Ketika Nabi Ibrahim a.s mencari Tuhan, ia melihat bulan dan matahari. Bulan dan matahari adalah sesuatu yang empiris karena bisa dilihat panca indra manusia. Seperti Nabi Musa a.s, Nabi Ibrahim a.s juga memiliki definisi operasional tentang konsep Tuhan di akal pikirannya yang diperolehnya selama bergelut mencari Tuhan. Salah satu indikator Tuhan itu adalah ‘tidak timbul dan tenggelam’ seperti bulan dan matahari. Karena data lapangan hasil observasi dengan mata telanjang menunjukkan bulan dan matahari bersifat ‘timbul dan tenggelam’, maka Nabi Ibrahim a.s menyimpulkan bahwa bulan dan matahari bukan Tuhan. Nabi Ibrahim a.s, ujar seorang teman, sedang mempraktikkan logika induktif.

TIGA. Seluruh pertanyaan yang diungkapkan Nabi Musa a.s adalah pertanyaan yang sangat manusiawi. Akal sehat manusia yang beradab, siapa pun orangnya, pasti akan menuntunnya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada Nabi Khidir a.s. Andai saya yang berjalan dengan Nabi Khidir a.s, maka saya pun akan mengajukan pertanyaan yang sama. Sebab, tindakan Nabi Khidir a.s sangat provokatif bagi akal sehat: perahu bagus dilobangi, anak muda di bunuh tanpa sebab, dan rumah yang hampir roboh diperbaiki. Semua tindakan Nabi Khidir a.s ditolak oleh akal sehat Nabi Musa a.s. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Nabi Musa a.s, tentu saja, dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman hidupnya, dan norma-norma sosial di zaman itu.

EMPAT. Dialog Nabi Musa a.s dan Nabi Khidir a.s menunjukkan bagaimana qolbu lebih unggul ketimbang akal. Teman A berkata seperti ini: Musa itu nabi. Ia satu-satunya nabi yang bercakap-cakap langsung dengan Tuhan di bumi. Qolbu nabi jelas berbeda dengan qolbu orang yang tidak menyandang status nabi. Tetapi, qolbu Khidir yang hanya di sebut sebagai “hamba yang beriman” mampu mengalahkan qolbu Musa yang berstatus nabi. Kita tahu bahwa titik lemah Musa karena rasa sombong yang masih bersemayam dalam qolbunya. Poin saya adalah (a) setiap manusia berpotensi mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhannya selama ia mampu melatih qolbunya seperti qolbunya Nabi Khidir a.s. Seperti apa sesungguhnya qolbunya Nabi Khidir a.s dan bagaimana melatihnya? Entahlah, silakan cari jawabannya ke para ulama; (b) pengetahuan dari akal itu hebat, tetapi pengetahuan yang didapatkan melalui qolbu sesungguhnya lebih hebat lagi. Saya baru bisa menyimpulkan, belum mengalaminya. Silakan para pembaca konsultasi ke para alim ulama soal ini.

LIMA. Teman B berkata: dalam cerita itu, Nabi Musa a.s tidak sabar dan tidak taat dengan gurunya (Nabi Khidir a.s). Padahal, sudah ada kontrak belajar di antaranya keduanya sebelum proses pembelajaran dimulai yang tercermin dalam kalimat Khidir sebagai berikut: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (QS. Al-Kahf [18]: 70)Maka, ujar teman saya itu, sabar dan taat terhadap guru dan kontrak pembelajaran itu sangat penting artinya dalam proses belajar mengajar. Artinya, ujar saya menimpali, beragam istilah kontrak belajar yang hari ini kita kenal (misalnya, RPP, GBPP, silabus) sesungguhnya diadopsi dari kisah ini. Mungkin juga, jawabnya. Teman saya itu berkata lagi: jika Nabi Musa a.s sedikit bersabar, tentu akan lebih banyak lagi pengetahuan yang ia dapatkan. Tetapi, ujarku lagi, Nabi Musa a.s adalah cerminan murid yang baik. Kok bisa? Lihatlah, selama proses belajar, ia terus menerus berpikir kritis. Selama proses belajar, ia tidak hanya diam tetapi bertanya, bertanya, dan bertanya. Lagi-lagi, temanku itu hanya tersenyum. Ia memang murah senyum.

ENAM. Teman C menggunakan pendekatan interpretatif. Ia berkata: menenggelamkan perahu, membunuh anak muda, dan merenovasi rumah adalah bahasa simbolik. Bagi dia, perahu itu adalah akal dan qolbu kita. Keduanya harus kita tenggelamkan ke dalam lautan atau samudera yang luas dan dalam. Lautan dan samudera adalah simbol cahaya ketuhanan. Tenggelamkan dirimu ke dalam sifat Tuhan, maka dirimu tidak akan pernah bisa diambil iblis yang disimbolkan oleh sosok seorang raja yang zholim dalam cerita dialog Khidir dan Musa.

Membunuh anak muda itu, ujarnya, adalah simbol agar kita membunuh sifat-sifat binatang yang bersemayam dalam diri kita. Bunuhlah sifat-sifat buruk itu selagi ia masih berupa berusia muda. Jangan biarkan ia berkembang, tumbuh, dan sempat menjadi dewasa. Jika sudah dewasa, maka sifat-sifat buruk akan sulit dikendalikan dan dibunuh. Contoh sifat buruk itu banyak sekali digambarkan dalam Alquran dan Hadist Rasulullah SAW.

Apa maknanya merenovasi rumah? Hidup kita ini adalah sebuah perjalanan. Rumah kita yang sesungguhnya ada di akhirat. Selama perjalanan singkat di dunia ini, kita diberi kesempatan untuk memperbaiki rumah kita di akhirat. Caranya adalah dengan mengamalkan seluruh ajaran Islam dengan ikhlas. Apapun situasinya, kita harus taat dengan perintah dan larangan. Ta’at itu hanya bisa dicapai jika kita ikhlas. Sebab orang ikhlas tidak bisa diganggu iblis. Jika kita tidak ta’at berarti kita sedang diganggu iblis. Iblis bisa mengganggu karena kita tidak ikhlas beribadah. Indikator ibadah yang ikhlas adalah jiwa yang tenang menghadapi segala situasi kehidupan. Jiwa yang tenang adalah ciri hamba Allah SWT yang sudah dijamin mendapatkan satu tiket ke syurga-Nya. Syurga, itulah rumah kita yang sesungguhnya. Dunia ini adalah momentum yang disediakan Allah SWT untuk merenovasi rumah kita yang kekal dan abadi. Manfaatkanlah dengan baik kesempatan ini atau engkau akan menyesal seumur hidup.

Allahu akbar. Saya tidak bisa berkata-kata mendengar uraian Teman C ini. Saya hanya bisa memejamkan mata mendengar ia bercerita. Ia mengobok-obok perasaanku.

TUJUH. Apa pula maksud harta karun yang tersimpan di dalam rumah itu? Itulah pahala yang disediakan Allah SWT karena amal ibadah kita selama di dunia. Dalam cerita itu, tidak disebutkan berapa banyak harta karun itu. Kita hanya tahu ada harta karun di situ. Ini mirip dengan pahala. Kita hanya tahu dan meyakini bahwa setiap amal ibadah ada pahalanya. Tetapi, hanya Allah SWT yang tahu bagaimana cara menghitung dan berapa banyak pahala (dan dosa) yang dimiliki seseorang

DELAPAN. Selesai merenovasi rumah, Nabi Musa a.s berkata kepada Nabi Khidir a.s bahwa kita bisa saja minta upah kepada pemilik rumah. Kita tahu, Nabi Khidir a.s tidak merespon pernyataan ini dan malah menegaskan kalimat Nabi Musa a.s itu sebagai tanda berakhirnya perjalanan mereka berdua. Ketika Nabi Musa a.s menyebut upah, saya berpikir, inilah landasan penarikan upah dalam Islam. Ketika Nabi Khidir a.s diam dan tidak bersedia meminta upah, ia sebetulnya sedang mempratikkan rasa ikhlas dan hanya mengharapkan upah dari Allah SWT yang tak terbatas.

SEMBILAN. Khidir menolak Musa yang ingin berguru kepadanya dengan mengatakan: “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (QS. Al-Kahf [18]: 68). Artinya, untuk mencapai maqom sabar, diperlukan pengetahuan atau ada ilmunya. Seperti apa ilmu supaya bisa sabar?